Friday, March 7, 2014

Hipertensi Bukan Sekadar Tekanan Darah Tinggi

Hipertensi sering kali diartikan sebagai tekanan darah tinggi. Namun, ternyata hipertensi tidak sesederhana itu. Menurut dokter spesialis ilmu penyakit dalam Suhardjono, hipertensi merupakan kondisi yang melibatkan beberapa komplikasi sekaligus di dalam tubuh.

"Hipertensi tidak hanya sekadar peningkatan tekanan darah, tetapi juga berarti obesitas, penurunan kelenturan arteri, disfungsi endotel, abnormalitas metabolisme glukosa, disfungsi hormon saraf, dan perubahan fungsi ginjal," ujar dokter dengan subspesialis ginjal-hipertensi ini dalam konferensi pers "The 8th Annual Meeting of Indonesian Society of Hypertension" pada Jumat (7/3/2014) di Jakarta.

Selain itu, lanjut dia, hipertensi juga dapat berarti perubahan mekanisme pembekuan darah, abnormalitas metabolisme insulin, disfungsi, dan penebalan dinding ruang jantung, aterogenesis (penumpukan plak di pembuluh darah), dan abnormalitas metabolisme lemak.

Karena itu, Suhardjono menekankan, hipertensi jelas merupakan kondisi yang sangat besar risikonya. Sayangnya, masih banyak orang dengan hipertensi yang masih belum mengetahui dirinya mengalami kondisi tersebut sehingga belum menerima pengobatan yang benar.
"Hampir 74 persen orang dengan hipertensi tidak tahu mengalami hipertensi. Jumlah ini besar dibandingkan dengan orang yang memperoleh pengobatan terkontrol," ujar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Di Indonesia, prevalensi hipertensi cukup tinggi. Menurut National Basic Health Survey 2013, prevalensi hipertensi pada kelompok usia 15-24 tahun adalah 8,7 persen, pada kelompok usia 25-34 tahun adalah 14,7 persen, 35-44 tahun 24,8 persen, 45-54 tahun 35,6 persen, 55-64 tahun 45,9 persen, 65-74 tahun 57,6 persen, dan lebih dari 75 tahun adalah 63,8 persen.

Dengan prevalensi yang tinggi tersebut, hipertensi yang tidak disadari mungkin jumlahnya bisa lebih tinggi lagi. Hal ini karena hipertensi dan komplikasi jumlahnya jauh lebih sedikit daripada hipertensi tidak bergejala. Padahal, karena tidak bergejala, orang jarang yang menyadarinya.

Namun, sebenarnya hipertensi bisa dicegah dan diobati. Caranya yaitu dengan pengobatan dan perubahan gaya hidup, seperti membatasi konsumsi garam, mencegah kelebihan berat badan, serta berhenti merokok.

Sebelum Dua Tahun, Jangan Ajarkan Anak Bedakan Kiri Kanan

Dalam budaya ketimuran termasuk di Indonesia, penggunaan tangan kanan untuk melakukan kegiatan tertentu menjadi hal yang penting. Misalnya untuk berjabat tangan, makan, dan kegiatan lainnya yang dinilai membutuhan kesopanan. Sehingga tangan kanan pun kerap dicap sebagai tangan "baik".
Sebenarnya sah-sah saja mengajari nilai tersebut pada si kecil supaya terbiasa sejak dini. Namun mengajarkan penggunaan tangan kanan pada anak berusia di bawah dua tahun sebaiknya dihindari. Pasalnya hal itu akan mempengaruhi keseimbangan perkembangan otaknya.
"Sebelum dua tahun, jangan dulu ajarkan anak soal penggunaan tangan kanan dan kiri. Jika dia makan atau bersalaman dengan tangan kiri biarkan saja dulu, jangan dilarang," saran dokter spesialis anak dari Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Soedjatmiko dalam sebuah diskusi kesehatan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, pelarangan terhadap penggunaan tangan tertentu pada anak di bawah dua tahun akan menghambat perkembangan salah satu bagian otak. Padahal untuk mendapatkan kecerdasan multipel, seluruh bagian otak anak perlu berkembang secara optimal.
Jika melarang penggunaan tangan kiri untuk meraih benda, makan, atau bersalaman, maka perkembangan otak kanan tidak optimal. Sementara perkembangan otak kiri mungkin berjalan dengan lebih baik sehingga saat dewasa anak akan lebih banyak mengunakan otak kirinya. Artinya, kreativitasnya bisa jadi kurang baik.
Kenapa sebelum dua tahun? Soedjatmiko menjelaskan, otak anak pada 1.000 hari pertama kehidupan tumbuh dan berkembang paling pesat. Sekitar 80 persen dari perkembangan otak terjadi di masa tersebut.
Seribu hari dihitung sejak konsepsi dan di dalam kandungan (270 hari) dan hingga usia dua tahun (730 hari). Itulah mengapa tidak optimalnya perkembangan otak di masa itu akan sangat mempengaruhi kemampuan anak di kemudian hari.
Untuk mengoptimalkan perkembangan otak anak di 1.000 hari pertama kehidupannya, Soedjatmiko menyarankan untuk memperhatikan tiga hal. Pertama, nutrisi harus lengkap dan seimbang. Kedua, tumbuh kembang anak perlu terukur setiap bulan meliputi tinggi dan berat badan, serta lingkar kepala.
Selain itu, anak juga membutuhkan pola pengasuhan yang meliputi kasih sayang dan cara mendidik yang tepat. "Jika semua itu terpenuhi maka anak mampu tumbuh menjadi orang yag cerdas, sehat, kreatif, dan berperilaku baik," pungkasnya.